Pages

Wednesday, September 12, 2018

Bowo di-PHK

Singkatan yang bikin banyak orang bergidik.

Sebagai pekerja atau karyawan yang belum mampu berbisnis atau siapa pun yang haqul yaqqin gak bakal dapat hujan duit atau kebagian warisan pastinya takut di-PHK. Dan faktanya, belakangan banyak banget perusahaan besar yang melakukan lay-off besar-besaran.

Salah satunya Bowo.

It happened few years ago. Gue gak akan cerita gimana rasanya di-PHK atau yang berkaitan dengan itu karena Bowo mungkin akan cerita sendiri di sini. But I'll share you everything from my side.

When it happened, honestly it was not very shocking. Somehow I knew it'll happen.
Begitu tahu Bowo di-PHK, yang terlintas di otak gue bukan soal uang, nafkah atau semacamnya. Rejeki bisa dicari dan datang dari mana aja, dan gue yakin Allah gak akan membiarkan anak-anak gue kelaparan.

Tapi gue lebih khawatir keadaan emosionalnya. Ya, PHK bisa bikin seseorang sangat sangat depresi and you know what? It will worst when it happen to a man than a woman.
Kenapa? Karena secara naluriah, lelaki itu dibebankan tanggung jawab lebih dibanding perempuan. Bagi lelaki, pekerjaan bisa berarti a pride sedangkan perempuan, kerja gak kerja ya gak masalah.
Makanya saat itu gue merasa PR terbesar gue adalah menjaga hati dan emosinya. Mencoba memahami sikap over sensitifnya, memaklumi perubahan suasana hatinya dan menjaga semangatnya.
Saat itu di pikiran gue adalah, "it's not about me nor our family, it's about him."
Bukan waktunya gue whinning over simple things, ngambek-ngambek manja gak jelas.

Meski begitu gue juga gak memungkiri ada ganjalan besar di hati. Bowo gak kerja--hanya kerja sambilan--berarti gue adalah tulang punggung keluarga. And you know what, IT IS SUCKS! Ada tanggung jawab besar dalam hal finansial yang gue tanggung karena Bowo belum dapat kerjaan. Bukannya gue gak ikhlas bekerja buat keluarga ya, tapi gue merasa sangat takut kalau gue gak bisa memenuhi kebutuhan keluarga sendirian. Or at least, itu pikiran gue. Tapi di balik itu gue juga sangat bersyukur karena Allah masih menitipkan rejeki anak-anak di gue. Posisi yang settle, lingkungan kerja yang nyaman dan 'kenikmatan' kerja lain lah. 

Intinya, saat itu gue harus menyeimbangkan dua emosi yang mana menurut gue sangat melelahkan. deg deg-an mikirin sampe kapan nih kayak gini, sampai kadang pengen nangis karena mikir kok hidup gue gini amat. *khususnya kalo lagi PMS* Dan dengan bangga gue bisa bilang, "I managed it well"! Less drama, emosi suami--terlihat--stabil dalam artian Bowo tahu gue akan selalu ada buat dia, gak melulu nyalahin keadaan dan ngeluh, dan tetap bikin suasana rumah nyaman.

Bayangin, kalau suami di-PHK, kita marah-marah nyalahin suami dan keadaan, anak salah dikit kita murka, suasana rumah macem neraka. Siapa coba yang mau tinggal di rumah macem gitu?

"Trus gimana dong? Dapur kan tetap mesti ngebul, anak mesti makan!"

NGERTIIIII, ngerti banget rasanya kagak gimana tapi ibaratnya ketika satu pilar runtuh jangan juga mendorong pilar lainnya buat jadi bergeser atau bahkan ikut runtuh. Just STOP, DROP, BREATH!

STOP
Intinya berhenti dulu mikir kenapa, kenapa, kenapa karena toh pertanyaan itu gak akan merubah apapun. Justru akan muncul kata "seandainya", seandainya ngana, seandainya nganu, seandainya ini, seandainya itu. Mau sampai kapan berandai-andai terus?

DROP
Apapun yang membuat kita menyalahkan keadaan, orang lain atau bahkan diri kita sendiri, just drop it. Kadang memang lebih mudah menyalahkan untuk membuat perasaan kita merasa lebih baik, tapi yang jadi pertanyaan, apa itu juga mengubah keadaan? Gak toh?! Nyalahin orang gak membuat dompet kita berisi, nyalahin keadaan gak lalu bikin suami langsung dapat kerja lagi. So drop it off! Buang semua hal yang akan membuat kita nyakitin orang lain, terutama suami dan anak.

BREATH
Syok, kecewa dan lelah, kalau campur jadi satu memang bikin perasaan gak karuan. Kalau sudah Stop, Drop, sekarang coba tarik napas dalam 5x sambil merem. I know it's easier to say, tapi percayalah I've been there done that and it was help a lot. Ini membantu gue berpikir jernih, bukan cuma memilah mana prioritas tapi juga aware dengan hal-hal yang gak kasat mata dan lebih sensitif lagi untuk ngadepin suami.

Memang ini susah banget dilakuin tapi harus terus dicoba berkali-kali. Di satu sisi, it is ok lho buat nangis, luapkan isi hati, merasa lelah and doing nothing. IT IS OK, tapi setelah itu bangkit, do what you have to do. Be a greatest supporter, jadi sandaran paling kuat. Gak cuma suami yang butuh, tapi seluruh keluarga.

Saat itu gue belajar banget pentingnya ngatur emosi, gak juga tiap hari ngomongnya ngegas, gak juga tiap saat gue nyuruh-nyuruh Bowo cari kerja. In fact gue bahkan gak pernah nyuruh, karena gue tahu tapi gue suruh pun dia berusaha. Malah seinget gue, kita gak pernah ngomongin soal PHK, kapan kerja, duit habis dan bla bla bla-nya. Bowo fokus cari lowongan pekerjaan yang cocok sambil ngambil kerjaan sampingan dan gua fokus membuatnya merasa nyaman tanpa terbebani.

Kita hitungannya juga beruntung sih karena Bowo masih ada kerjaan sampingan yang sedikit banya membantu walaupun jauh dari cukup ya. Alhamdu...lillaaah

Selang beberapa bulan, Bowo dapat kerja lagi *Horeeee!* tapi di BALI...

Jreng... jreeeeeng... cobaan selanjutnya, Long Distance Marriage and Long Distance Parenting

Berat amat rasanya hidup gue saat itu. Tapi setelah dipikir sekarang, gue sangat sangat sangat bersyukur karena tanpa masa-masa itu, gak mungkin kita bisa sampai di fase ini.

Next deh, gue akan cerita lagi soal Long Distance-nya. Ingetin yaaa

No comments:

Post a Comment