Pages

Sunday, January 20, 2019

RASA

"If the world turns against me, would you still stay by my side?"

Pernah pertanyaan itu datang ke saya sekitar sepuluh atau sebelas tahun lalu. Pada saat itu pikiran saya ya gak 'panjang', toh worst case-nya apa sih? Bahkan untuk skenario terburuknya pun gak pernah terpikir oleh saya. Waktu itu saya jawab sesimpel mungkin, karena dari perasaan yang saya rasakan saat itu ya, begitu.

Saya percaya semua dimulai dari rasa. Kalau saya sudah merasa pas, akan mudah juga dijalaninya terlepas dari sekian banyak kendala di depannya. Perasaan itu sangat penting bagi saya, bahkan beberapa keputusan penting yang saya buat didasarkan oleh rasa. Mungkin karena perasaan saya cenderung tidak berubah atau setidaknya bertahan lama. It might fade, it might grow but it stays. 

Kembali ke pertanyaan di atas.

Berpihak ke seseorang atau kelompok tertentu di saat nyaris semua orang menentang itu ternyata gak mudah. Bahkan tidak pernah terbayang oleh saya akan melewati dan menjalaninya. Menutup mata dan telinga untuk semua orang yang menentang pilihan saya, termasuk orang-orang yang ada buat saya jauh sebelum saya punya dan memahami tentang rasa. Keberpihakan itu perlahan membuat saya cenderung melepaskan diri dari lingkungan nyaman, bahkan dari diri saya sendiri. If you meet me around ten years ago, you will never recognize me now. Bahkan saya sendiri cukup sadar kalau saya adalah orang yang berbeda, meski di ujung hati sana saya yang dulu masih ada.

Satu hal yang membuat saya tetap berpihak... karena rasa. Rasa yang masih ada dan masih sama.

Namun saya ternyata melewatkan sesuatu. Ketika saya berdiri tegak di satu sisi meneriakan rasa yang saya yakini dan keyakinan yang saya amini, tapi sisi tersebut justru berbalik arah dari saya.

Segenap dunia saya hancur. berkeping-keping, termasuk rasa itu. Hancur.

Perlahan tapi pasti hidup saya terasa gamang, kaki saya terasa tak berpijak, semua mengambang. Berkali-kali saya berusaha berpegang pada rasa itu untuk bisa jejak dan berdiri kembali, namun rasa itu terasa lunglai, lemah dan kecewa.

Entah kemana rasa itu membawa saya, tapi tak kuasa juga saya melawannya. Kenapa? Karena saya sudah mencoba, mencari jalan sendiri tanpa rasa dan berakhir di tempat yang sama. Di tempat rasa itu berada.

Lalu bagaimana kabar dunia? Masihkah menentang saya? Oh tentu, konsistensi adalah jawabannya. Meski saya terus berusaha berdamai, tidak lah mudah untuk kembali dengan membawa rasa sama. Dan saya mengerti. Walaupun rasa itu telah berubah, rasa tetaplah rasa. Rasa yang sama yang membuat saya berdiri dengan tegaknya di satu sisi kehidupan tanpa menghiraukan pikuknya dunia. 

No comments:

Post a Comment