Bismillahirrahmanirahim
*kretekin jari*
Disclaimer;
Nggak mudah buat saya share tentang ini, maju mundur macem Syahrini. Tapi saya sadar harus berdamai dengan diri sendiri, try to let it go and not hold a grudge. Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat buat saya dan orang tua di luar sana, bagaimana kita juga harus menghargai anak dan tidak melulu membanggakan diri sebagai orang tua hebat. Sesungguhnya anak itu hanyalah titipan Allah, siapa kita berhak menyakiti sesuatu yang kepunyaan Allah.
I was think a lot lately and mostly about family.
*kretekin jari*
Disclaimer;
Nggak mudah buat saya share tentang ini, maju mundur macem Syahrini. Tapi saya sadar harus berdamai dengan diri sendiri, try to let it go and not hold a grudge. Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat buat saya dan orang tua di luar sana, bagaimana kita juga harus menghargai anak dan tidak melulu membanggakan diri sebagai orang tua hebat. Sesungguhnya anak itu hanyalah titipan Allah, siapa kita berhak menyakiti sesuatu yang kepunyaan Allah.
I was think a lot lately and mostly about family.
How i manage a family, how i raise the
children, how i can be a mother that my children want me to be.
Berat ya yang dipikirin. Tapi ya begitulah
kira-kira kalau sudah berkeluarga, yang dipikirin bukan lagi diri sendiri dan
pria kesayangan tapi keluarga.
Entah saya yang agak lebay atau gimana, but i
have this fear that I am not good enough to be a mother. Ya, takut nggak bisa
jadi Ibu yang dipengenin anak-anak.
Kenapa? Mungkin karena saya punya masa kecil
yang nggak terlalu indah dan bisa dikenang. Lagi-lagi, mungkin saya agak
berlebihan, tapi kalau boleh jujur apa yang saya lalui di masa kecil adalah
yang membuat saya seperti sekarang.
Bahasa kerennya;
What I have been through in my childhood, more
or less made who i am today.
Makanya, setelah punya anak saya banyak mikir
dan berusaha nggak melakukan hal yang nggak pengen diingat anak-anak saat
mereka dewasa.
Misalnya?
Umm, hal kecil seperti membandingkan anak
dengan anak lain.
“Kayak anaknya si ibu anu dong. Pinter,
sholeh, bla... blaa... blaaa”
atau
“Gambarnya keluar garis nih, yang bagus dong
kayak si A.”
Jujur, saya sendiri sudah kenyang dibandingkan
dengan anak yang lebih pintar, lebih cantik, lebih ini, itu, nganu dan lain
sebagainya. Tapi apa itu memotivasi saya untuk berubah jadi lebih baik? Enggak
tuh. Di usia saya saat itu saya sama sekali nggak mengerti 'pancingan' motivasi
macem gitu.
Dalam pikiran saya justru, “I am not good
enough. And never will be”. Ya saya merasa yang saya lakukan dalam hidup nggak
pernah cukup dan mungkin nggak akan pernah cukup. Trus apa ada niat atau usaha
jadi lebih baik? Enggak!
Sebagai bentuk protes, saya mencari orang yang
bisa menerima saya dengan ketidak-cukupan. Tidak cukup pintar, tidak cukup
cakap, tidak cukup ini dan itu. Dan saya pun tumbuh menjadi pribadi yang selalu
butuh orang lain di samping saya, entah itu sahabat atau pacar.
Ya, gak ada satu masa pun dalam rentang waktu
remaja dan pasca-remaja saya lalui tanpa pacar. Segitunya? Ya, saya sebegitu
insecure-nya sampai butuh orang lain di luar keluarga untuk membuat saya nyaman
dan menerima apa adanya.
Dan karena hal-hal kayak gitu saya jadi banyak
mikir.
Saya nggak mau hal-hal yang saya lalui masa
kecil hingga remaja harus juga dirasakan anak-anak saya, terutama Qila.
Aqila adalah refleksi dari diri saya.
Aqila itu matahari saya.
Dia itu... bidadari saya.
Dan saya akan lakukan segala hal supaya dia
nggak melalui apa yang saya lalui.
Saya mau dia tumbuh jadi perempuan kuat,
mandiri dengan pemikiran terbuka. And somehow not like me.
If she have to life in this bubble so she can
be protected, I will do that. Tapi kenyataannya—siap atau tidak—nantinya Qila
akan hidup terpisah dari saya. Akan ada ratusan atau ribuan peristiwa dalam
hidupnya yang akan membentuk karakter dirinya.
Dan setidaknya yang saya bisa lakukan, adalah
memberi dia kehidupan masa kecil yang menyenangkan tanpa trauma yang akan
memengaruhi mental. Kenangan yang bisa dia ingat dan
membuat saya menjadi sosok yang dirindukan
nantinya. Semoga ya...
Jadi, buibu... kalau bisa ya, berusaha lah
menjadi Ibu yang diinginkan anak kalian.
Kita mungkin capek, lelah seharian kerja, tapi
apa itu artinya mereka nggak bisa dapat sedikit waktu kita? Apa artinya kita
berhak ngomong, “Ibu capek pulang kerja, jangan aneh-aneh deh”. Apa artinya
kita merasa berhak marah-marah karena kenakalan anak-anak?
Ingat aja, anak itu nggak pernah sekali pun
minta dilahirkan dan mereka nggak pernah bisa memilih siapa orang tuanya. Atau
kalau pun bisa memilih, mungkin mereka nggak akan milih kita.
Juga ingat, surga mungkin di telapak kaki Ibu,
kaki kita. Tapi Ibu macam apa kita?
Kita mungkin punya segala kekuatan untuk
mendurhakakan anak, tapi ingat juga, anak punya segala kekuatan untuk membawa
kita, orang tuanya ke surga.
Yuk, mulai sekarang, sering-sering tertawa
bareng meski kadang yang mereka lakuin itu ngeselin. Ajak mereka cerita meski
kadang apa yang diobrolin nggak menarik buat kita yang dewasa.
Karena pada akhirnya, mereka akan melakukan
hal yang sama ketika kita tua nanti.
Maaak, berat aje tulisan eyke yeeee...
No comments:
Post a Comment