Pages

Friday, April 17, 2015

Untitled

Bismillahirrahmanirahim


*kretekin jari*

Disclaimer;
Nggak mudah buat saya share tentang ini, maju mundur macem Syahrini. Tapi saya sadar harus berdamai dengan diri sendiri, try to let it go and not hold a grudge. Semoga tulisan ini bisa jadi pengingat buat saya dan orang tua di luar sana, bagaimana kita juga harus menghargai anak dan tidak melulu membanggakan diri sebagai orang tua hebat. Sesungguhnya anak itu hanyalah titipan Allah, siapa kita berhak menyakiti sesuatu yang kepunyaan Allah.

I was think a lot lately and mostly about family.

How i manage a family, how i raise the children, how i can be a mother that my children want me to be.

Berat ya yang dipikirin. Tapi ya begitulah kira-kira kalau sudah berkeluarga, yang dipikirin bukan lagi diri sendiri dan pria kesayangan tapi keluarga.




Entah saya yang agak lebay atau gimana, but i have this fear that I am not good enough to be a mother. Ya, takut nggak bisa jadi Ibu yang dipengenin anak-anak.

Kenapa? Mungkin karena saya punya masa kecil yang nggak terlalu indah dan bisa dikenang. Lagi-lagi, mungkin saya agak berlebihan, tapi kalau boleh jujur apa yang saya lalui di masa kecil adalah yang membuat saya seperti sekarang.

Bahasa kerennya;

What I have been through in my childhood, more or less made who i am today.

Makanya, setelah punya anak saya banyak mikir dan berusaha nggak melakukan hal yang nggak pengen diingat anak-anak saat mereka dewasa.

Misalnya?

Umm, hal kecil seperti membandingkan anak dengan anak lain.

“Kayak anaknya si ibu anu dong. Pinter, sholeh, bla... blaa... blaaa”

atau

“Gambarnya keluar garis nih, yang bagus dong kayak si A.”

Jujur, saya sendiri sudah kenyang dibandingkan dengan anak yang lebih pintar, lebih cantik, lebih ini, itu, nganu dan lain sebagainya. Tapi apa itu memotivasi saya untuk berubah jadi lebih baik? Enggak tuh. Di usia saya saat itu saya sama sekali nggak mengerti 'pancingan' motivasi macem gitu.

Dalam pikiran saya justru, “I am not good enough. And never will be”. Ya saya merasa yang saya lakukan dalam hidup nggak pernah cukup dan mungkin nggak akan pernah cukup. Trus apa ada niat atau usaha jadi lebih baik? Enggak!

Sebagai bentuk protes, saya mencari orang yang bisa menerima saya dengan ketidak-cukupan. Tidak cukup pintar, tidak cukup cakap, tidak cukup ini dan itu. Dan saya pun tumbuh menjadi pribadi yang selalu butuh orang lain di samping saya, entah itu sahabat atau pacar.

Ya, gak ada satu masa pun dalam rentang waktu remaja dan pasca-remaja saya lalui tanpa pacar. Segitunya? Ya, saya sebegitu insecure-nya sampai butuh orang lain di luar keluarga untuk membuat saya nyaman dan menerima apa adanya.

Dan karena hal-hal kayak gitu saya jadi banyak mikir.

Saya nggak mau hal-hal yang saya lalui masa kecil hingga remaja harus juga dirasakan anak-anak saya, terutama Qila.

Aqila adalah refleksi dari diri saya.

Aqila itu matahari saya.

Dia itu... bidadari saya.

Dan saya akan lakukan segala hal supaya dia nggak melalui apa yang saya lalui.

Saya mau dia tumbuh jadi perempuan kuat, mandiri dengan pemikiran terbuka. And somehow not like me.

If she have to life in this bubble so she can be protected, I will do that. Tapi kenyataannya—siap atau tidak—nantinya Qila akan hidup terpisah dari saya. Akan ada ratusan atau ribuan peristiwa dalam hidupnya yang akan membentuk karakter dirinya.

Dan setidaknya yang saya bisa lakukan, adalah memberi dia kehidupan masa kecil yang menyenangkan tanpa trauma yang akan memengaruhi mental. Kenangan yang bisa dia ingat dan
membuat saya menjadi sosok yang dirindukan nantinya. Semoga ya...


Jadi, buibu... kalau bisa ya, berusaha lah menjadi Ibu yang diinginkan anak kalian.

Kita mungkin capek, lelah seharian kerja, tapi apa itu artinya mereka nggak bisa dapat sedikit waktu kita? Apa artinya kita berhak ngomong, “Ibu capek pulang kerja, jangan aneh-aneh deh”. Apa artinya kita merasa berhak marah-marah karena kenakalan anak-anak?

Ingat aja, anak itu nggak pernah sekali pun minta dilahirkan dan mereka nggak pernah bisa memilih siapa orang tuanya. Atau kalau pun bisa memilih, mungkin mereka nggak akan milih kita.

Juga ingat, surga mungkin di telapak kaki Ibu, kaki kita. Tapi Ibu macam apa kita?

Kita mungkin punya segala kekuatan untuk mendurhakakan anak, tapi ingat juga, anak punya segala kekuatan untuk membawa kita, orang tuanya ke surga.

Yuk, mulai sekarang, sering-sering tertawa bareng meski kadang yang mereka lakuin itu ngeselin. Ajak mereka cerita meski kadang apa yang diobrolin nggak menarik buat kita yang dewasa.

Karena pada akhirnya, mereka akan melakukan hal yang sama ketika kita tua nanti.




Maaak, berat aje tulisan eyke yeeee...

No comments:

Post a Comment