Pages

Tuesday, May 7, 2013

Bowo Pindah Kerja

Sebenernya, yang lebih pas cerita ini Bowo karena kan dia yang pindah kerja, tapi yang akan gue ceritain di sini mungkin cuma sebatas perasaan gue aja yang swaminya pindah kerja.

Swami pindah kantor kok istri yang repot? Iyalah. Istri mana yang gak kepikiran kalau swami pindah di kantor baru. Gimana lingkungannya, jam kerjanya dan kerjaannya. Dalam kasus gue, mungkin harusnya sih banyak bersyukur karena waktu di kantor yang lama, ritme kerja Bowo dan gue itu sama. Berangkat dan pulang kantor di waktu yang hampir bersamaan.

Kenapa segitu pentingnya? Mungkin bagi pasangan lain, kerja shift atau long distance gak masalah asal duit tetep ngalir. Tapi enggak dengan gue dan Bowo, uang mungkin menjadi faktor utama kenapa kita berdua harus kerja. Tapi ya nggak juga harus ngorbanin waktu, selama kita masih punya pilihan, kayaknya kita usahain untuk punya ritme kerja yang sama. Ini lain cerita ya kalau memang nggak punya pilihan.

But now, keadaan berubah. Di kantor lamanya Bowo udah 3 tahun dan dia udah mulai merasa nggak kerasan. Selain itu perkembangan karier pun rasanya udah mentok ya, dia juga udah mempertimbangkan untuk pindah kerja. Dari sisi gue sih ya nggak masalah, asal yang ngejalanin hepi, karena percuma juga maksain kalau sebenernya udah nggak sreg lagi di kantor lama. Nah masalah timbul ketika Bowo pindah ke kantor baru yang jam kerja dan lingkungannya totally different. Masuk di tim produksi TV yang belum launching, nuntut dia buat selalu pulang tengah malem bahkan ampe pagi. Masalahnya, pulang pagi pun di kantornya dia juga gak sibuk-sibuk banget, malah kebanyakan nunggu dan nggak ngapa-ngapainnya. Itu yang ngebuat waktunya banyak kebuang percuma. Sampe rumah tengah malem bahkan pagi, dan paginya dia mesti berangkat ngantor lagi. Biasanya kalau malem kita masih punya waktu buat pillow talk, sekadar ngobrol ngalor-ngidul dan otomatis sekarang nggak bisa lagi. Dia pulang, keseringan gue udah tidur pules dan pagi gue bangun, seringnya dia masih tidur. Ih nggak enak banget. Nggak ada lagi ngobrol cekikikan tiap mau tidur, ngayal-ngayal babu tiap liat Pinterest dan obrolan mesum malam hari. Haha. Mungkin karena kita berdua belum beradaptasi aja kali ya, atau memang kita nggak cocok dengan ritme yang kayak gini.

But we decided to give it a try for few weeks . Kalau memang swami nggak kerasan dan malah nggak nyaman, ya istrinya mah rela banget dia resign. Lah, kalau swaminya nggak kerja, piye? Ish, hayo ingeeeeet... rejeki udah ada yang ngatur dan nggak bakal ketuker. Tinggal usahanya aja, segigih apa. We'll see laaaaah...

Hal yang paling gue syukuri adalah selama ini uang bukan ambisi kami (gue dan Bowo) dalam hidup. Ya memang kita masih tetep bergantung sama doku, *situ pikir sini beli sayur kangkung pake apa? Bulu ketek?!* but money is not everything. Jadi begitu shit happened, yang kepikiran di otak bukan, "nanti duitnya dari mana" tapi gue lebih mikirin, how can I help to make him feel better and secure. Uang mungkin urutan ke empat atau lima, but never be number one.

Meski Bowo udah resign dan masih cari-cari peruntungan di tempat lain, rejeki selalu ada dan datang sesuai porsinya. Dapur masih ngebul, cicilan rumah aman, bahkan kita bisa pindahan ke rumah baru di Sawangan *yeaaayy!!*. And I still feel happy that I am married this geeky guy that always (and will) do everything he could to make me and Qila save and secure. I don't even really care that he is not manager or a head division in the company. He's the guy that I met almost 6 years ago and he still be that guy. The guy I love.


Cieeeh. *yomantis ye gue*

No comments:

Post a Comment