Sejak awal pacaran, I was fully
aware kalau Bowo adalah tipe yang doyan ngobrol. He spent like 2 - 3 hours just
to chat and share his mind. Ingeeet banget, tagihan Hallo Telkomsel yang ampe dua jeti adalah saksi,
laki gue doyan ngobrol—ama gue dong pastiiii! *jitak niiih.. Nah, masalahnya gue rata-rata nggak ngerti sama
yang dia omongin. Yes, hampir 60% isi pikirannya yang dia obrolin ke gue itu gue
GAK NGERTI. Yang lucu, dia pernah cerita soal pembangkit listrik tenaga angin. Mulai
dari konsepnya sampe dia punya cita-cita mau bikin kincir angin di pulau
Pramuka. Sepanjang cerita gue gak berhenti mikir untuk bisa keep-up ama
obrolannya, dan endingnya laki gue sadar kalau gue rada nggak tertarik even I
was trying so hard. Hahaha! Banyak sih yang bilang, “ironis banget, nggak
ngerti kok tetep mau dengerin.” But that’s the point, cuma gak ngerti sama gak
mau ngerti itu kan
beda, lho ya. Gue emang gak ngerti sebagian besar omongannya, tapi gue memilih
dengerin karena itu ilmu yang bisa gue curi dari otaknya. Yaa, sadar diri lah sini kan rada oon ya, Ceu. And he’s the smartest person I know.
Singkat cerita, sampai sekarang
Bowo masih doyan ngobrol. Apaaaaa aja diobrolin, apa yang ada di pikirannya,
apa yang dia lagi suka, apa yang dia mau beli—walau gak pernah kebeli, hahahaha—apa
yang dia gak suka, he shares. Nah, obrolan ini biasanya kami lakuin pas
menjelang tidur, abis bersih-bersih, pas lagi relax, tiduran sambil ngobrol
ngalor ngidul. Sejak ada Qila, obrolan kami memang sering tentang bocah itu,
how fast she grows atau gaya
parenting apa yang akan kita terapin. Nggak jarang juga dia cerita tentang isi
kepalanya dan rencana-rencana kami ke depan. This is the thing what I love
about pillow talk. We share.
Sedih banget kalau tahu ada
pasangan yang nikah tapi nggak saling ‘kenal’ satu sama lain karena ya itu faktor
lack of sharing. Malah pernah denger cerita, ada istri yang closet-nya pisah
dari suami—oke ini masih wajar, mungkin rumahnya gede banget ya, Cong—tapi dia gak
pernah tahu apa aja isi closet si suami, nah ini kok ya rada serem yaaaa. Gue suka
mikir, kita itu hidup 7 hari seminggu, 24 jam sehari, ketemu terus sama
pasangan, tapi gak bisa komunikasi dengan baik—dan bercita-cita hidup bareng pulak
hingga ajal memisahkan—sedih kan? Trus pas pacaran ngapain aja dong? Ok, I don’t
judge.
Bagi gue dan Bowo, pillow talk as komunikasi itu
semacam pondasi buat hubungan kami. Segala yang di-share, diobrolin, tujuannya menjaga
kami tetap waras di tengah segala tetek bengek masalah setelah menikah, punya
anak, hingga masalah finansial. Entah ya, gue mungkin kolot, tapi gue adalah
salah satu yang percaya kalau segala yang baik bisa berawal dari komunikasi dan
begitu juga segala yang buruk bisa diakhiri dengan komunikasi. Iya, sebegitu
pentingnya komunikasi antara gue dan Bowo. Selain itu, komunikasi juga ngebuat
kami tetap terbuka. Ya, iyalah, segala-gala cerita, segala-gala ngomong, agak
susah juga ya cong kalau mau ngibul. Kalau ada yang bilang, “Nggak semua
diceritain ke pasangan,” well, me and Bowo totally the opposite deh tuh but it’s
for our own good, anyway.
Soo, dari sekian plus minus, gue
sih merasa pillow talk itu lebih banyak bagusnya dibanding jeleknya. Komunikasi pillow talk ini paling efektif buat kami yang gak tiap saat bisa ngobrol beneran. Ya,
mudah-mudahan bisa tetep kayak gini deh ampe keriput nanti.
* Catatan penting nih, gak
selamanya juga gue selalu setuju dengan pendapat Bowo—yang dia certain—dan
begitu sebaliknya. Kami sangat respect soal opini pribadi. Selama gak bikin
ranjang terpisah, kami lebih sering pakai opsi agree to disagree. Yeee Oncooom,
kawin bukan berarti seiya sekata juga kali. Iyaa, judulnya sih dia memang imam
keluarga, tapi bukan berarti kita gak boleh punya pendapat sendiri toh? Bukan berarti
dia gak pernah salah kan?
Kussen!
evie.
No comments:
Post a Comment