Pages

Friday, January 28, 2022

The Nectar of Pain

.

.

.

.

Not every mountain is worth climbing,

Not every race is worth running,

and not every war is worth fighting,


I loved the parts of you that I did not own.

And you owned the parts of me that you did not love.


So I am taking my love back today.

And today, I am giving you back to you.


Just because you choose not to climb a mountain, it does not mean that you have to carry it.




Najwa Zebian ---

Thursday, December 23, 2021

Bye 2021

Hey,

Kalau kamu baca post sebelum ini, pasti bakal ketawa sih. Iya, soalnya baru aja 'Hey 2021' trus sekarang judulnya 'Bye 2021'. Hahaha.

Cita-cita konsisten nulis lagi ternyata susah banget ya. Padahal dulu seneng banget nulis, rasanya kayak terapi gitu. Bisa ngeluarin isi kepala dan kadang unek-unek di hati. Tapi entah kenapa sekarang tuh susah banget, selain susah nemuin waktu ya susah juga nulisnya. Seringnya tuh kebingungan mau mulai nulis dari mana, padahal dialog-dialog di kepala ini nggak jarang bikin mumet dan terlalu 'berisik'.  

Anyway, how's your 2021? Aku tahu, nggak semua punya cerita menyenangkan di tahun ini. And it's OOOOOOKAY! More than ok sih benernya. 

Mine? Well, I got lost on this year. Nggak karuan sebenernya dan hampir menyerah, tapi sadar ada manusia kecil yang hidupnya masih bergantung di pundak ini dan juga rasa tanggung jawabku yang menghadirkan mereka tanpa dipinta yang bikin aku bertahan dengan mantra, "yuk bertahan sehari lagi." 

Percaya atau nggak, itu yang aku ucapin tiap pagi pas buka mata. Hmm karena jujur, tanpa mantra itu, tanpa adanya manusia kecil itu dan rasa tanggung jawab itu, mungkin aku lebih memilih mati. Kayaknyaaa, mati itu damai, tenang dan semuanya selesai. 

Hmm, mungkin nggak semua orang bisa ngerti ya, gimana rasanya, tapi pas kemarin sempet dengerin lagu Zombie-nya Day6, berasa relate banget. Kayaaak... yaa itu yang aku rasain.

Kalau ditanya, "udah ke psikolog, belum?" atau "Do you talk to someone about this?", jawabannya belum (lagi). Terapiku berhenti nyaris setahun karena lebih memilih toxic productivity dibanding menyembuhkan diri. See, now you know how I lost myself in 2021.

Tahun 2022, kayaknya aku nggak punya harapan apapun. Hmm, mungkin cuma pengen nggak tersesat lagi dan nemuin tangan yang bisa aku pegang lagi. Kali ini aku janji, akan eratkan pegangan dan tetap gandengan tangan. 

Anyway, see you next year...


Monday, February 22, 2021

Hey 2021

Hai.

Percaya atau enggak, judul ini awalnya 'Hey 2020' tapi nggak pernah kejadian buat di-post karena udah berbulan-bulan kosong aja nih isinya. Jadi, bhay aja lah yaaa...

Anyway.

Halo lagi, senang ketemu lagi. It's been a while ya...
Hmm, pelan-pelan mau coba nulis lagi tapi semoga nggak anget-anget chicken poop ya


Sunday, January 20, 2019

RASA

"If the world turns against me, would you still stay by my side?"

Pernah pertanyaan itu datang ke saya sekitar sepuluh atau sebelas tahun lalu. Pada saat itu pikiran saya ya gak 'panjang', toh worst case-nya apa sih? Bahkan untuk skenario terburuknya pun gak pernah terpikir oleh saya. Waktu itu saya jawab sesimpel mungkin, karena dari perasaan yang saya rasakan saat itu ya, begitu.

Saya percaya semua dimulai dari rasa. Kalau saya sudah merasa pas, akan mudah juga dijalaninya terlepas dari sekian banyak kendala di depannya. Perasaan itu sangat penting bagi saya, bahkan beberapa keputusan penting yang saya buat didasarkan oleh rasa. Mungkin karena perasaan saya cenderung tidak berubah atau setidaknya bertahan lama. It might fade, it might grow but it stays. 

Kembali ke pertanyaan di atas.

Berpihak ke seseorang atau kelompok tertentu di saat nyaris semua orang menentang itu ternyata gak mudah. Bahkan tidak pernah terbayang oleh saya akan melewati dan menjalaninya. Menutup mata dan telinga untuk semua orang yang menentang pilihan saya, termasuk orang-orang yang ada buat saya jauh sebelum saya punya dan memahami tentang rasa. Keberpihakan itu perlahan membuat saya cenderung melepaskan diri dari lingkungan nyaman, bahkan dari diri saya sendiri. If you meet me around ten years ago, you will never recognize me now. Bahkan saya sendiri cukup sadar kalau saya adalah orang yang berbeda, meski di ujung hati sana saya yang dulu masih ada.

Satu hal yang membuat saya tetap berpihak... karena rasa. Rasa yang masih ada dan masih sama.

Namun saya ternyata melewatkan sesuatu. Ketika saya berdiri tegak di satu sisi meneriakan rasa yang saya yakini dan keyakinan yang saya amini, tapi sisi tersebut justru berbalik arah dari saya.

Segenap dunia saya hancur. berkeping-keping, termasuk rasa itu. Hancur.

Perlahan tapi pasti hidup saya terasa gamang, kaki saya terasa tak berpijak, semua mengambang. Berkali-kali saya berusaha berpegang pada rasa itu untuk bisa jejak dan berdiri kembali, namun rasa itu terasa lunglai, lemah dan kecewa.

Entah kemana rasa itu membawa saya, tapi tak kuasa juga saya melawannya. Kenapa? Karena saya sudah mencoba, mencari jalan sendiri tanpa rasa dan berakhir di tempat yang sama. Di tempat rasa itu berada.

Lalu bagaimana kabar dunia? Masihkah menentang saya? Oh tentu, konsistensi adalah jawabannya. Meski saya terus berusaha berdamai, tidak lah mudah untuk kembali dengan membawa rasa sama. Dan saya mengerti. Walaupun rasa itu telah berubah, rasa tetaplah rasa. Rasa yang sama yang membuat saya berdiri dengan tegaknya di satu sisi kehidupan tanpa menghiraukan pikuknya dunia. 

Wednesday, September 12, 2018

Bowo di-PHK

Singkatan yang bikin banyak orang bergidik.

Sebagai pekerja atau karyawan yang belum mampu berbisnis atau siapa pun yang haqul yaqqin gak bakal dapat hujan duit atau kebagian warisan pastinya takut di-PHK. Dan faktanya, belakangan banyak banget perusahaan besar yang melakukan lay-off besar-besaran.

Salah satunya Bowo.

It happened few years ago. Gue gak akan cerita gimana rasanya di-PHK atau yang berkaitan dengan itu karena Bowo mungkin akan cerita sendiri di sini. But I'll share you everything from my side.

When it happened, honestly it was not very shocking. Somehow I knew it'll happen.
Begitu tahu Bowo di-PHK, yang terlintas di otak gue bukan soal uang, nafkah atau semacamnya. Rejeki bisa dicari dan datang dari mana aja, dan gue yakin Allah gak akan membiarkan anak-anak gue kelaparan.

Tapi gue lebih khawatir keadaan emosionalnya. Ya, PHK bisa bikin seseorang sangat sangat depresi and you know what? It will worst when it happen to a man than a woman.
Kenapa? Karena secara naluriah, lelaki itu dibebankan tanggung jawab lebih dibanding perempuan. Bagi lelaki, pekerjaan bisa berarti a pride sedangkan perempuan, kerja gak kerja ya gak masalah.
Makanya saat itu gue merasa PR terbesar gue adalah menjaga hati dan emosinya. Mencoba memahami sikap over sensitifnya, memaklumi perubahan suasana hatinya dan menjaga semangatnya.
Saat itu di pikiran gue adalah, "it's not about me nor our family, it's about him."
Bukan waktunya gue whinning over simple things, ngambek-ngambek manja gak jelas.

Meski begitu gue juga gak memungkiri ada ganjalan besar di hati. Bowo gak kerja--hanya kerja sambilan--berarti gue adalah tulang punggung keluarga. And you know what, IT IS SUCKS! Ada tanggung jawab besar dalam hal finansial yang gue tanggung karena Bowo belum dapat kerjaan. Bukannya gue gak ikhlas bekerja buat keluarga ya, tapi gue merasa sangat takut kalau gue gak bisa memenuhi kebutuhan keluarga sendirian. Or at least, itu pikiran gue. Tapi di balik itu gue juga sangat bersyukur karena Allah masih menitipkan rejeki anak-anak di gue. Posisi yang settle, lingkungan kerja yang nyaman dan 'kenikmatan' kerja lain lah. 

Intinya, saat itu gue harus menyeimbangkan dua emosi yang mana menurut gue sangat melelahkan. deg deg-an mikirin sampe kapan nih kayak gini, sampai kadang pengen nangis karena mikir kok hidup gue gini amat. *khususnya kalo lagi PMS* Dan dengan bangga gue bisa bilang, "I managed it well"! Less drama, emosi suami--terlihat--stabil dalam artian Bowo tahu gue akan selalu ada buat dia, gak melulu nyalahin keadaan dan ngeluh, dan tetap bikin suasana rumah nyaman.

Bayangin, kalau suami di-PHK, kita marah-marah nyalahin suami dan keadaan, anak salah dikit kita murka, suasana rumah macem neraka. Siapa coba yang mau tinggal di rumah macem gitu?

"Trus gimana dong? Dapur kan tetap mesti ngebul, anak mesti makan!"

NGERTIIIII, ngerti banget rasanya kagak gimana tapi ibaratnya ketika satu pilar runtuh jangan juga mendorong pilar lainnya buat jadi bergeser atau bahkan ikut runtuh. Just STOP, DROP, BREATH!

STOP
Intinya berhenti dulu mikir kenapa, kenapa, kenapa karena toh pertanyaan itu gak akan merubah apapun. Justru akan muncul kata "seandainya", seandainya ngana, seandainya nganu, seandainya ini, seandainya itu. Mau sampai kapan berandai-andai terus?

DROP
Apapun yang membuat kita menyalahkan keadaan, orang lain atau bahkan diri kita sendiri, just drop it. Kadang memang lebih mudah menyalahkan untuk membuat perasaan kita merasa lebih baik, tapi yang jadi pertanyaan, apa itu juga mengubah keadaan? Gak toh?! Nyalahin orang gak membuat dompet kita berisi, nyalahin keadaan gak lalu bikin suami langsung dapat kerja lagi. So drop it off! Buang semua hal yang akan membuat kita nyakitin orang lain, terutama suami dan anak.

BREATH
Syok, kecewa dan lelah, kalau campur jadi satu memang bikin perasaan gak karuan. Kalau sudah Stop, Drop, sekarang coba tarik napas dalam 5x sambil merem. I know it's easier to say, tapi percayalah I've been there done that and it was help a lot. Ini membantu gue berpikir jernih, bukan cuma memilah mana prioritas tapi juga aware dengan hal-hal yang gak kasat mata dan lebih sensitif lagi untuk ngadepin suami.

Memang ini susah banget dilakuin tapi harus terus dicoba berkali-kali. Di satu sisi, it is ok lho buat nangis, luapkan isi hati, merasa lelah and doing nothing. IT IS OK, tapi setelah itu bangkit, do what you have to do. Be a greatest supporter, jadi sandaran paling kuat. Gak cuma suami yang butuh, tapi seluruh keluarga.

Saat itu gue belajar banget pentingnya ngatur emosi, gak juga tiap hari ngomongnya ngegas, gak juga tiap saat gue nyuruh-nyuruh Bowo cari kerja. In fact gue bahkan gak pernah nyuruh, karena gue tahu tapi gue suruh pun dia berusaha. Malah seinget gue, kita gak pernah ngomongin soal PHK, kapan kerja, duit habis dan bla bla bla-nya. Bowo fokus cari lowongan pekerjaan yang cocok sambil ngambil kerjaan sampingan dan gua fokus membuatnya merasa nyaman tanpa terbebani.

Kita hitungannya juga beruntung sih karena Bowo masih ada kerjaan sampingan yang sedikit banya membantu walaupun jauh dari cukup ya. Alhamdu...lillaaah

Selang beberapa bulan, Bowo dapat kerja lagi *Horeeee!* tapi di BALI...

Jreng... jreeeeeng... cobaan selanjutnya, Long Distance Marriage and Long Distance Parenting

Berat amat rasanya hidup gue saat itu. Tapi setelah dipikir sekarang, gue sangat sangat sangat bersyukur karena tanpa masa-masa itu, gak mungkin kita bisa sampai di fase ini.

Next deh, gue akan cerita lagi soal Long Distance-nya. Ingetin yaaa